Minggu, 24 Juni 2012

mukhabarah


Pembahasan



  1. Pengertian

Mukhabarah/ muzara’ah menurut bahasa memiliki dua arti, yang pertama Tharh al-zur’ah ( melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al hadzar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan makna yang kedua adalah makna hakiki.[1]
Secara istilah, Ulama Fiqh berbeda pendapat tentang Mukhabarah. Di antaranya adalah sebagai berikut :

1.      Menurut Hanafiah
Muzara’ah adalah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi. Sedangkan Mukhabarah adalah Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar  dari bumi.

2.      Menurut Hanabilah
Muzara’ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.

3.      Menurut Malikiyah
Muzara’ah adalah bersekutu dalam akad.

4.      Menurut Syafi’iyah
Mukhabarah adalah menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut. Sedangkan muzara’ah adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.

5.      Syaikh Ibrahim al-Bajuri
Mukhabarah adalah Sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola. Sedangkan muzara’ah adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.

Setelah diketahui definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa mukhabarah dan muzara’ah ada kesamaan dan adapula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik  tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Perbedaannya adalah pada modal, bila modal berasal dari pengelola disebut mukhabarah dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah disebut muzara’ah.[2]

  1. Landasan Hukum

Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a.

إ نّ ا لنّبي ص. م لم يحرّ م  ا لمز ا ر عة و لكن ا مر ا ن ير فق بعضهم ببعض بقو له من كا نت له ا ر ض فليز ر عها أ و ليمنحها ا خا ه فا ن أ بى فليمسك ا ر ضه

“Sesungguhnya Nabi Saw. menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara’ah , bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barangsiapa yang memilik tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.”[3]

Abu Yusuf , Imam Malik, Ahmad, dan Abu Dawud Azh-Zhahiri, berpendapat bahwa muzara’ah diperbolehkan. Hal itu didasarkan pada hadist yang diriwayatkan Ibn Umar bahwa Nabi Saw. bermuamalah dengan ahli khaibar dengan setengah dari yang dihasilkan dari tanaman, baik buah-buahan maupun tumbuh-tumbuhan.[4]


  1. Rukun-rukun dan Syarat –syaratnya

Menurut Hanafiah, rukunnya hanya satu ialah akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja.
Secara rinci, jumlah rukun-rukun dari kedua akad tersebut menurut Abu Yusuf dan Muhamad adalah sebagai berikut :

1.                         Yang berkaitan dengan Aqid
a.    Mumayidz , tetapi tidak diisyaratkan baliqh.
b.    Bukan orang yang murtad.

2.                       Syarat tanaman
Di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat, tetapi kebanyakan menganggap lebih baik jika diserahkan kepada pekerja.
3.      Syarat dengan garapan.
a.       Memungkinkan untuk digarap.
b.      Jelas.
c.       Ada penyerahan tanah.

4.      Syarat-syarat tanaman yang dihasilkan.
a.       Jelas ketika akad.
b.      Diharuskan kerja sama dua orang yang akad.
c.       Ditetapkan ukuran antara keduanya, seperti sepertiga, setengah, dan lain-lain.
d.      Hasil dari tanaman harus menyeluruh di antara dua orang yang akan melangsungkan akad.

5.      Tujuan Akad
Tujuan akad disini harus berdasarkan pada tujuan syara’ yaitu untuk memanfaatkan pekerja atau memanfaatkan tanah.

6.      Syarat alat bercocok tanam
Dibolehkan menggunakan alat tradisional atau modern dengan maksud sebagai konsekuensi atas akad. Jika hanya bermaksud menggunakan alat, dan tidak dikaitkan dengan akad maka mukhabarah maupun muzara’ah dipandang rusak.

7.      Tempo[5]


Menurut ulama Malikiyah, syarat-syarat mukhabarah maupun mujara’ah adalah :
1.      Kedua orang yang melangsungkan akad harus menyerahkan benih.
2.      Hasil yang diperoleh harus disamakan antara pemilik tanah dan penggarap.
3.      Benih harus berasal dari kedua orang yang melangsungkan akad.


  1. Eksistensi  Muzara’ah dan Mukhabarah

Menurut Abu Yusuf dan Muhammad Muzara’ah maupun Mukhabarah mempunyai empat keadaan, tiga sahih dan satu batal.
1.      Dibolehkan, jika tanah dan benih berasal dari pemilik, sedngkan pekerjaan dan alat penggarap berasal dari penggarap.
2.      Dibolehkan, jika tanah dari seseorang, sedangkan benih , alat penggarap, dan pekerjaan dari penggarap.
3.      Dibolehkan, jika tanah, benih, dan alat penggarap berasal dari pemilik, sedangkan pekerjaan berasal dari penggarap.
4.      Tidak dibolehkan, jika tanah dan hewan berasal dari pemilik tanah, sedangkan benih dan pekerjaan dari penggarap.

  1. Hukum  Mukhabarah dan Muzara’ah

Sahih menurut Hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah, hukum mukhabarah maupun muzara’ah adalah sebagai berikut :
1.      Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
2.      Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
3.      Hasil yang diperoleh dibgikan berdasarkan kesepakatan pada waktu akad.
4.      Menyiram atau menjaga tanaman, jika diisyaratkan akan dilakukan bersama, hal itu harus dipenuhi. Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan  maka penggaraplah yang paling bertanggung jawab menyiram atau menjaga tanaman.

Fasid menurut Hanafiyah
Telah disinggung bahwa ulama syafi’iyah melarang akad tersebut, jika benih dari pemilik, kecuali bila dianggap sebagai mushaqah. Begitu pula jika benih dari penggarap, hal itu tidak boleh sebagaimana dalam mushaqah.

  1. Penghabisan Mukhabarah maupun Muzara’ah

Beberapa hal yang menyebabkan Mukhabarah dan Muzara’ah habis.

1.      Habis masanya
2.      Salah seorang yang berakad meninggal
3.      Adanya uzur. Menurut ulama Hanafiah, diantara uzur yang menyebabkan batalnya akad, antara lain :
a.       Tanah garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar hutang.
b.      Penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad di jalan Allah.[6]











Penutup




  1. Kesimpulan

Mukhabarah/ muzara’ah menurut bahasa memiliki dua arti, yang pertama Tharh al-zur’ah ( melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al hadzar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan makna yang kedua adalah makna hakiki.

Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a.
Menurut Hanafiah, rukunnya hanya satu ialah akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja.
Secara rinci, jumlah rukun-rukun dari kedua akad tersebut menurut Abu Yusuf dan Muhamad adalah sebagai berikut :Yang berkaitan dengan Aqid,Syarat tanaman , Syarat-syarat tanaman yang dihasilkan, Tujuan Akad ,Syarat alat bercocok tanam,Tempo.


Menurut ulama Malikiyah, syarat-syarat mukhabarah maupun mujara’ah adalah :
·         Kedua orang yang melangsungkan akad harus menyerahkan benih.
·         Hasil yang diperoleh harus disamakan antara pemilik tanah dan penggarap.
·         Benih harus berasal dari kedua orang yang melangsungkan akad.


Menurut Abu Yusuf dan Muhammad Muzara’ah maupun Mukhabarah mempunyai empat keadaan, tiga sahih dan satu batal.
·        Dibolehkan, jika tanah dan benih berasal dari pemilik, sedngkan pekerjaan dan alat penggarap berasal dari penggarap.
·         Dibolehkan, jika tanah dari seseorang, sedangkan benih , alat penggarap, dan pekerjaan dari penggarap.
§  Dibolehkan, jika tanah, benih, dan alat penggarap berasal dari pemilik, sedangkan pekerjaan berasal dari penggarap.
·         Tidak dibolehkan, jika tanah dan hewan berasal dari pemilik tanah, sedangkan benih dan pekerjaan dari penggarap.


Beberapa hal yang menyebabkan Mukhabarah dan Muzara’ah habis.

·         Habis masanya
·         Salah seorang yang berakad meninggal
·         Adanya uzur. Menurut ulama Hanafiah, diantara uzur yang menyebabkan batalnya akad, antara lain :
1.      Tanah garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar hutang.
2.      Penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad di jalan Allah.[7]

































Daftar Pustaka




Suhendi, Hendi . fiqh Muamalah. Jakarta. Raja Grafindo persada. 2008
 Syafe’i, Rachmat . fiqh Muamalah. Bandung. Pustaka Setia. 2001








[1]Dr. H. Hendi Suhendi, M.si. fiqh Muamalah. Jakarta. Raja Grafindo persada. 2008.,153
[2] Ibid.,153-156
[3] Ibid., 156
[4] DR. H. Rachmat Syafe’i, M.A. fiqh Muamalah. Bandung. Pustaka Setia. 2001.,207
[5] Ibid.,208-209
[6] Ibid.,210-211

Tidak ada komentar:

Posting Komentar